Senin, 13 Desember 2010

konfigurasi iman

I. PENDAHULUAN
Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang umat manusia adalah fenomena keberagamaan religius. Keberagamaan merupakan respon manusia terhadap wahyu Allah SWT dalam bentuk penghayatan, pemikiran maupun perbuatan keberagamaan yang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktifitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual, tetapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan lahir dan bukan hanya berkaitan dengan aktifitas tampak, tetapi juga batin seseorang.
Generasi sahabat merupakan masyarakat muslim yang hidup semasa Nabi Muhammad SAW. Jika dilihat dari masanya, maka sahabat Nabi merupakan orang pertama yang mengalami hidup bersama Nabi dan mendengar serta menyaksikan turunnya wahyu. Segala persoalan terkait dengan kehidupan mereka baik urusan dunia maupun agama selalu terselesaikan dengan meminta fatwa langsung dari Nabi. Keberagamaan mereka dapat dipandang sebagai keberagamaan yang dekat dengan sumber wahyu, sehingga merepresentasikan kehidupan Islami pertama yang menjadi sumber rujukan pola keberagamaan pada masa-masa sesudahnya.

II. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian konfigurasi iman itu ?
2. Bagaimana konsep dasar dalam konfigurasi iman ?
3. Bagaimana konfigurasi iman pada masa generasi sahabat rasulullah ?

III. Pembahasan
1. Definisi Konfigurasi Iman
Salah satu unsur dasar dalam Islam adalah adanya kesatuan antara dunia akhirat. Prinsip dasar ini kemudian dipertegas dengan rumusan Islam kaffah yang mengandung arti bahwa ajaran Islam di dalamnya meliputi seluruh kehidupan umat manusia. Ini berarti, seluruh aspek kehidupan, apakah dunia atau ukhrowi adalah medan keberagamaan dalam wujud memberi respon kepada wahyu Allah SWT. Bobot tampilan keberagamaan ini kemudian dipertajam dengan tampilan empiris pelaksanaannya oleh Rasulullah dalam kehidupan manusia, melalui suatu proses pendidikan (tarbiyah) secara empirik (bil al-hal).
Konfigurasi adalah bentuk, susunan, setting, informasi keadaan dari suatu system terutama untuk menjalankan suatu proses.
Konfigurasi iman adalah juga suatu model susunan dari arti, nilai, dan simbol yang dirumuskan dari ajaran aqidah islam. Menurut S. Takdir Alisyahbana, nilai memiliki kekuatan untuk membentuk perilaku di dalam diri, masyarakat, dan budayanya.
Konfigurasi iman dapat diartikan sebagai penataan kembali unsur-unsur perilaku keberagamaan agar menjadi perilaku yang sesuai dengan misi rasul yakni mengesakan Allah. Bedasarkan penjabaran tersebut, konfigurasi iman sebagai wujud perbuatan umat atau masyarakat dalam membentuk dan menata kembali iman tersebut menjadi sebuah keniscayaan.
Seiring dengan perkembangan zaman, keberagamaan manusia juga mengalami perubahan. Apalagi di era modernisasi ini dimana pengaruh budaya barat sangat mendominasi disetiap segi kehidupan manusia termasuk didalamnya perilaku umat. Untuk iman ini sudah cendrung megikuti bentuk perilaku barat dan mulai meninggalkan nilai-nilai islam. Hal ini menimbulkan munculnya disentegrasi sosial, merosotnya nilai solidaritas, dan cenderung materialisme. Dalam hal ini manusia sudah mulai mengukur sesuatu dengan kaca mata ekonomi, sehingga makin menyempitnya waktu sosial.

2. Konsep Dasar Konfigurasi Iman
Konsep dasar di dalam teologi islam terapan dirumuskan berdasarkan kajian historis dengan wawasan konteks modern. Penysunan konfigurasi modern ini perlu memanfaatkan warisan pemikiran filsafat dan tasawuf yang telah dimiliki umat islam sepanjang sejarah pemikirannya.wawsan filosofis ini diperlukan untuk dapat dengan tetap meraba watak konteks kehidupan modern. Ajaran islam memang tidak terbatas ruang dan waktu, tetapi ia mengenal perubahan sosial sehingga corak kehidupan perlu diperhatikan dalam mengamalkannya.
Adapun konsep dasar konfigurasi iman dalam teologi islam terapan adalah sebagai berikut :
1. Uraian Al-quran dan Sunnah tentang Tuhan, sifat-sifatnya atau masalah lain yang terkait lebih merupakan ungkapan fungsional daripada eksistensial
2. Manusia adalah hamba Allah yang berperan melaksanakan amanat karena mahluk lain tidak mampu melaksanakannya.
3. Alam semesta disediakan bagi manusia sebagai lahan pengabdian.
4. Manusia adalah tetap sebagai hamba Allah SWT.
Dalam konfigurasi iman teologi islam terapan, konsep-konsep dasar tersebut menjadi nilai utama atau etos sikap teologis umat islam

3. Konfigurasi iman Generasi sahabat
Generasi sahabat merupakan masyarakat muslim yang hidup semasa Nabi Muhammad SAW. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok kategori, yakni sahabat Anshar yang merupakan sahabat dari kalangan orang asli/ penduduk Madinah dan Muhajirin yang merupakan pendatang muslim dari kota Makkah.
Jika dilihat dari masanya, maka sahabat Nabi merupakan orang pertama yang mengalami hidup bersama Nabi dan mendengar serta menyaksikan turunnya wahyu. Segala persoalan terkait dengan kehidupan mereka baik urusan dunia maupun agama selalu terselesaikan dengan meminta fatwa langsung dari Nabi. Keberagamaan mereka dapat dipandang sebagai keberagamaan yang dekat dengan sumber wahyu, sehingga merepresentasikan kehidupan Islami pertama yang menjadi sumber rujukan pola keberagamaan pada masa-masa sesudahnya.
Al-Qur’an pada mulanya di wahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat tertentu, yang pada akhirnya secara alamiah tumbuh dan berkembang secara luas, dengan tersebarnya Islam ke berbagai penjuru. Kebanyakan persoalan yang di hadapi umat Islam di masa Nabi Muhammad sudah barang tentu berbeda dengan yang di hadapi oleh generasi-generasi yang akan datang. Hal ini terjadi dikarenakan proses kemasyarakatan yang berjalan terus-menerus, juga disebabkan kontak dan saling mempengaruhi antar umat Islam dan budaya lain yang saling bersentuhan. Oleh karena al-Qur’an hanya memuat sebagaian kecil hukum-hukum yang terperinci, dan sunnah yang terbatas pada kasus-kasus yang terjadi di masa Nabi Muhammad, maka untuk memecahkan persoalan-persoalan baru, terutama yang berhubungan dengan persoalan kemasyarakatan di perlukan adanya ijtihad. Ijtihad yang merupakan upaya pemikiran maksimal manusia yang dapat dikerjakan secara sungguh-sungguh dalam menentukan dan menerapkan pesan-pesan Tuhan yang termuat pada suatu teks (nash) agama, ternyata telah dapat mengaktualkan aturan-aturan Islam pada setiap waktu dan keadaan.
Salah satu penjelasan yang dapat menggambarkan bagaimana kehidupan keberagamaan dan konfigurasi iman generasi sahabat pada masa itu adalah dengan melihat upaya mereka dalam mengartikan dan menerjemahkan realitas kehidupan berdasarkan fatwa dan petunjuk Nabi Muhammad SAW. Banyak sahabat Nabi yang telah berijtihad mengenai berbagai persoalan, baik ketika mereka berada di samping Nabi Muhammad, atau ketika mereka berjauhan dengan beliau. Terhadap hasil ijtihad yang beliau ketahui secara langsung, ataupun melalui perantara sahabat-sahabat yang lain, beliau senantiasa menentukan sikap dan kalau perlu memberikan keputusan, ada yang beliau setujui dan ada pula yang beliau betulkan.
Semangat ijtihad tumbuh subur di kalangan para sahabat, karena Nabi Muhammad memberikan peluang yang besar kepada mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu wajar jika diantara para sahabat banyak yang tercatat dalam sejarah sebagai orang-orang yang sering di ajak oleh Nabi Muhammad untuk berdiskusi dalam menentukan suatu masalah, salah satunya adalah Umar Ibn Khattab.
Setelah Nabi Muhammad wafat, keperluan Ijtihad semakin meningkat. Pada masa itu segala persoalan di konsultasikan kepada beliau, pasca Nabi keadaannya menjadi lain. Tanggung jawab untuk memecahkan segala persoalan menjadi garapan sepenuhnya ummat yang di tinggalkannya.
Kedudukan Nabi Muhammad sebagai Khatam al-anbiya wa al-mursalin, nampaknya dipahami para sahabat secara kreatif. Untuk itulah, mereka dengan segala upaya kesungguhan, berijtihad, mencari pemecahan masalah, dengan selalu mengambil inspirasi dan menangkap pesan-pesan universal dari al-Qur’an dan al-Sunnah
Di tengah “keterputusan teks” pasca kenabian itulah yang kemudian memunculkan beragam persoalan baru. Tumbuh dan melebarnya kekuasaan Islam menghadirkan munculnya pluralitas tradisi, budaya, dan bahkan agama. Sebagai konsekuensinya, adalah sampai sejauhmana kecerdasan hukum Islam “fiqh” menjawab perkembangan hukum yang muncul belakangan tersebut. Fenomena inilah yang mendesak para sahabat saat itu, untuk mengkonstruksi produk hukum baru, yaitu dengan cara berijtihad. Cara ini sebagai media solusi yang paling relevan untuk mengurai kebuntuhan hukum pada masa itu.
Ijtihad menjadi sebuah media yang sangat urgen dan sangat besar peranannya dalam konstruksi hukum Islam. Tanpa peran ijtihad, mungkin saja kontruksi hukum Islam tidak akan berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan “mungkin” ajaran Islam tidak mampu menjawab tantangan zaman dengan beragam problematikanya.
Munculnya ijtihad ini bukan menjadi bahasa dan trend baru bagi para pembaharu hukum Islam, akan tetapi hal ini sudah di mulai semenjak Rasulullah masih hidup. Sebagai contoh, ijtihad Nabi Muhammad tentang tawanan perang Badar. Disaat landasan nash al-Qur’an (wahyu) yang menjelaskan soal tawanan perang belum turun, Nabi Muhammad kemudian meminta pendapat Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab. Hal ini dilakukan oleh Nabi sebagai antisipasi atas kekosongan landasan hukum. Petunjuk ini memberikan isyarat pada kita bahwa Nabi telah memberikan jalan alternatif ketika umat tidak menemukan landasan hukum dalam nash al-Qur’an. Pesan yang disampaikan Nabi Muhammad tersebut memunculkan inspirasi bahwa proses ijtihad senantiasa terus dimunculkan sebagai penyelesaian persoalan umat Islam.
Contoh yang lain pula adalah, Umar Ibn Khattab memberikan satu masukan pendapat kepada Nabi, bahwa tawanan perang Badar tersebut harus dibunuh. Alasan mendasarnya adalah, mereka merupakan pemimpin-pemimpin yang kafir, yang jika mereka dilepaskan akan membuat keonaran di tengah masyarakat Muslim.
Sementara, Abu Bakar mengeluarkan statemen (tafsir hukum) yang berbeda. Ia menyarankan agar tawanan perang Badar tersebut dilepaskan dengan fidyah (tebusan). Hal ini dilakukan agar bisa memperkuat kaum muslim dan menambah pemasukan bagi kaum muslimin. Nabi Muhammad saat itu kemudian berijtihad dengan menerima pendapat Abu Bakar setelah mempertimbangkan kemaslahatan.
Akan tetapi terkait dengan aktifitas ijtihad tersebut diatas Allah menegur Nabi Muhammad dengan turunnya wahyu yang memperingatkan bahwa dalam kondisi seperti di atas pendapat Umar Ibn Khattab lebih tepat untuk diterapkan.
Kalau di perhatikan sepintas lalu, tampaknya kebijakan- kebijakan Umar Ibn Khattab bertentangan dan melenceng dari perintah al-Qur’an dan al-Sunnah yang berlaku sebelumnya. Akan tetapi, seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Hasan dalam bukunya The early Development of Islamic Jurisprudence , bahwa tindakan Umar Ibn Khattab semacam itu justru bukanlah penyimpangan, tetapi berangkat dari ketaatan yang sejati kepada semangat al-Qur’an yang di lakukannya berdasarkan pertimbangan pribadi.
IV. Kesimpulan
1. Konfigurasi iman dapat diartikan sebagai penataan kembali unsur-unsur perilaku keberagamaan agar menjadi perilaku yang sesuai dengan misi rasul.
2. Gambaran konfigurasi iman generasi sahabat dapat dipandang sebagai keimanan/keberagamaan yang dekat dengan sumber wahyu, sehingga merepresentasikan kehidupan Islami pertama yang menjadi sumber rujukan pola keberagamaan pada masa-masa sesudahnya, sehingga dapat dikatakan bahwa konfigurasi iman masyarakat sahabat merupakan gambaran yang lengkap dan menyeluruh dan utuh yang merepresentasikan kondisi iman yang layak untuk dijadikan uswah karena masa-masa tersebut merupakan penataan dan pembangunan pondasi keimanan pertama ummat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar